Oleh : Albertus Bawa Sungkawa, S.S
Menjadi Petani adalah panggilan “merawat kehidupan”. Karena, yang dilakukan petani adalah memelihara, merawat, menumbuhkembangkan apa yang dihasilkan oleh alam yang salah satunya menyediakan apa yang menjadi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan. Soal pangan sangat berkaitan pula dengan soal kedaulatan, soal hidup matinya sebuah negara. Maka, negara yang kuat niscaya adalah negara yang memiliki kedaulatan pangan sekaligus juga kedaulatan petani. Bisa dibayangkan, sebuah negara tanpa kedaulatan pangan niscaya akan sangat bergantung pada negara lain dalam hal pangan. Maka, menjadi lemahlah negara itu.
Indonesia adalah negara agraris, negara yang terkenal sebagian besar warganya adalah petani. Namun ironis, di kalangan muda, menjadi petani kurang diminati. Mengapa? Karena petani identik dengan “kemiskinan”, kebodohan, lemah. Sejarah panjang pertanian di Indonesia khususnya sejak tahun 1980 turut andil dalam membentuk citra petani yang demikian. Kurang lebih dua dekade sejak tahun 80an petani Indonesia tak memiliki kemerdekaan karena kebijakan intensifikasi pertanian yang dikeluarkan pemerintah kala itu. Benih, pupuk kimia, dan aneka obat-obatan pertanian secara masif dipergunakan tanpa memperhitungkan dampak lingkungan yang diakibatkan di kemudian hari.
Akibat buruknya jelas terjadi saat ini, sebagian besar tanah pertanian tak lagi subur dan makin besar ketergantungannya terhadap pupuk, keanekaragaman hayati menjadi rusak, dan ekosistem pertanian kehilangan keseimbangannya. Harga hasil pertanian pun tak sesuai dengan besarnya biaya produksi. Lahirlah citra petani miskin, bodoh, dan lemah, jauh dari kata “sejahtera”. Mulai menjauhlah anak muda dari cita-cita menjadi petani.
Era telah berubah. Kedaulatan pangan, keseimbangan alam, pertanian lestari, kedaulatan petani, kini menjadi isu hangat yang kembali diperjuangkan. Tak ada lagi tekanan terhadap petani terkait produk pertanian yang harus mereka tanam, pupuk dan obat-obatan pertanian yang harus mereka pakai. Peluang sukses di dunia pertanian sangat terbuka lebar. Pengetahuan dan aneka teknologi di bidang pertanian makin mudah diakses dan diterapkan. Karena teknologi pertanian juga, kendala lahan terbatas pun mampu teratasi. Salah satunya dengan cara hidroponik misalnya.
Komunitas-komunitas petani pun kini bermunculan. Lewat komunitas itu mereka saling belajar, berbagi pengetahuan, membangun jejaring, bekerjasama saling menguntungkan demi kemajuan bersama. Kedaulatan petani niscaya makin terwujud dengan kuatnya jaringan petani yang semacam ini. Petani-petani muda sukses kini bermunculan. Fakta ini kiranya makin mengikis citra buruk petani. Petani tak lagi identik dengan kebodohan, kemiskinan. Sebaliknya, menjadi petani adalah peluang, peluang meraih kesuksesan, kesejahteraan. Kesejahteraan tak semata dinikmati oleh petani, melainkan juga kesejahteraan sebuah bangsa, bahkan kesejahteraan dunia.
Maka, siapa pun anak muda tak ada alasan untuk takut menjadi petani. Sebab, petani itu tak akan pernah mati.
No responses yet